Anak adalah anak panah dan orang tua hanyalah sebuah busur, maka biarlah Tuhan yang mengarahkan kemana anak panah itu akan dilontarkan.
Anak
Berprestasi: Kebutuhan Orang Tua Ataukah Kebahagiaan Anak?
“Anak berprestasi merupakan wujud
dari kebutuhan orang tua ataukah kebahagiaan atas kualitas yang telah dicapai
oleh anak sih?” Ya, pertanyaan ini beberapa kali
terlintas dalam benak saya sampai kemudian saya memutuskan untuk menulis
artikel ini. Hal ini di latar belakangi oleh karena saya sering menjumpai para
orang tua, khususnya kaum ibu-ibu yang betapa seriusnya ketika terlibat
pembicaraan terkait prestasi yang telah dicapai oleh anak-anaknya. Tidak jarang
saya mendapat kesan para ibu saling berlomba memproklamirkan kehebatan bahkan
prestasi anak-anak mereka.
Fenomena
tersebut terasa seperti sudah mendarah daging, dan telah berpotensi memboomingkan adanya pengembangan sekolah
unggulan beberapa tahun silam. Sampailah sekarang muncul trend sekolah bilingual
dan kurikulum ganda (nasional dan internasional yang mengadopsi dari luar
negeri). Ironisnya, kekhawatiran saya akan masyarakat kita yang menjadi korban
industrialisasi dunia pendidikan. Bersekolah bukan hanya pembimbingan anak untuk
berusaha mencapai ilmu pengetahuan, namun juga sarana menuju kejuaraan. Perhatikan
saja sekarang hampir semua anak sekolah tidak hanya belajar di sekolah, mereka
mengikuti bimbingan belajar (bimbel) maupun les privat dengan alasan untuk
membantu pemahaman materi pelajaran di sekolah. Ada pula yang mengikuti les
non-akademik demi pengembangan bakatnya. Suatu ketika pernah ada peserta didik
saya yang jarang memiliki waktu untuk dirinya sendiri (me time) maupun bermain bersantai bersama kawan-kawannya. Hal ini
lantaran jadwal rutinitasnya selama setiap hari termasuk hari libur sekolahnya
sudah penuh. Mereka terus saja berkutat dengan sekolah, les privat mata
pelajaran, les mengaji, les menyanyi/menari, les piano, dan ada pula yang
membantu orang tuanya bekerja. Faktanya ada sebagian anak yang mengeluh terkait
aktivitas yang telah dijadwalkan oleh orang tuanya ini, bahkan prestasi
belajarnya ada yang sama sekali tidak terbantu.
Kenyamanan
Psikis Anak
Berangkat
dari ini, diperlukan pembicaraan bersama orang tua dan para guru agar lebih memahami
psikis anak. Dimana orang tua terkadang menilai anak itu malas dan kurang
memiliki motivasi belajar. Hal ini cenderung membuat orang tua menyuruh anak
untuk belajar bahkan sampai diikutkan ke bimbel. Guru juga memberikan tugas
yang terkadang sampai masih dikerjakan oleh siswanya di hari libur sekolah.
Anak-anak akan kesusahan menikmati aktivitas bersekolahnya, akibat dari
ketidaknyamanannya dari berbagai tekanan yang diperolehnya. Ketika aktivitas
tersebut menguasai kehidupannya sampai saat liburan sekolahpun masih berurusan
dengan tugas-tugas yang dibebankan guru ditambah celoteh orang tua tentang
belajar. Padahal setiap manusia membutuhkan istirahat dan rekreasi. Ketika anak
sudah dalam kondisi nyaman, fisik dan psikis, maka akan dengan mudah melakukan
sesuatu karna kemauannya sendiri apalagi jika dirinya sudah merasa membutuhkan.
Maka dari itu, sebaiknya kita tidak mudah menyimpulkan anak-anak malas sebelum
kita mengetahui alasannya kenapa menampilkan perilaku seperti itu. Misalnya
saja pendapat anak-anak yang mengatakan bahwa hampir semua anak tidak suka
bersekolah. Namun jarang sekali ada pembicaraan mengapa mereka tidak
menyukainya, padahal hampir semua anak juga mengatakan bahwa sekolah itu
dibutuhkan dan penting.
Orang
tua sebaiknya tidak memaksakan apa yang dianggapnya baik untuk anak-anak
sekalipun anak tersebut memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Jika anak
telah tertekan dengan yang dialaminya maka kebahagiaan dan hasil optimal anak
yang diharapkan akan semakin jauh dari jangkauan. Meski demikian, bukan berarti
orang tua tidak perlu melakukan apapun. Orang tua dapat membimbing anak untuk
menata sudut pandangnya.
Ketika
orang tua menilai anak berprestasi merupakan kebutuhan, maka meraih prestasi
adalah aset guna mendapat kebahagiaan. Analoginya ketika ada orang yang lapar,
maka dia akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan makanan. Maka supaya anak
mau melakukan apa yang orang tua inginkan, hanya perlu ciptakanlah kebutuhan
itu sehingga anak akan dengan sendirinya berusaha mendapatkannya. Orang tua pun
tidak perlu lagi memaksakan atau memarahi anak.
Mengelola
Potensi Anak
Ketika
orang tua menilai anak berprestasi sebagai sebuah kebahagiaan, maka orang tua
membimbing anak agar mensyukuri apa yang dimilikinya dengan merawat dan
mengembangkan potensinya. Orang tua yang ingin anak menikmati potensinya
sehingga bisa berkembang mencapai titik optimal. Orang tua juga harus siap
ketika mendapati anaknya berganti-ganti aktivitas, entah karena intensitas rasa
bosan maupun merasa tidak mampu. Kegagalan yang membuat anak frustasi perlu
adanya pendampingan orang tua dengan memberi pengetahuan tentang pilihan yang
ada secara komprehensif agar anak benar-benar mengerti apa yang akan dihadapi apabila
memilih yang ini ataupun yang itu.
Orang
tua yang berorientasi mengelola apa yang dimiliki anak, memiliki resiko
frustasi lebih sedikit dibanding orang tua yang memandangnya sebagai kebutuhan.
Hal ini dikarenakan orang tua mengajak anak menikmati apa yang dimilikinya,
bukan berusaha mendapatkan apa yang belum ada sehingga orang tua cenderung
tidak memasang target prestasi.
Apapun
yang orang tua inginkan, apapun pendapatnya tentang anak berprestasi, anak
tetaplah anak. Janganlah menempatkan anak sejajar dengan orang dewasa karena
anak jelas bukan orang dewasa berukuran mini. Anak memiliki dunianya sendiri
dan orang tua wajib menghormatinya. Anak adalah manusia utuh yang juga punya
hak asasi. Mari perlakukan anak sebagaimana diri sendiri juga ingin diperlakukan.
Agar mereka belajar dari apa yang kita lakukan. Supaya mereka memperoleh
pengetahuan, kebijakan dan kebahagiaan dengan caranya sendiri. Anak adalah anak
panah dan orang tua hanyalah sebuah busur, maka biarlah Tuhan yang mengarahkan
kemana anak panah itu akan dilontarkan.
[AWA]