Pengaruh day-care tergantung dari kualitas day-care, lamanya waktu keikutsertaan, dan hubungan yang terjalin antara anak dengan orang tua di luar waktu day-care
Program Day-Care untuk Anak, Perlukah?
Program
Day-Care telah banyak dikenal oleh
masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Beberapa day-care center yang sudah didirikan
semenjak beberapa tahun lalu sifatnya lebih seperti penitipan anak, walaupun
TPA (Tempat Penitipan Anak) tersebut dilengkapi fasilitas berupa aneka media
permainan dan ruangan dengan desain menarik. Padahal day-care center semestinya bukan hanya TPA semata, tetapi lebih
menyediakan sarana dan program yang dirancang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan anak bereksplolasi dengan aman. Sayangnya day-care center yang berkualitas dan berfasilitas memadai di
Indonesia masih jarang keberadaannya, jika ada pun mereka mematok biaya yang
mahal sehingga hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Pada dasarnya anak
usia 4-29 bulan sudah bisa dimasukkan ke day-care
center. Sedangkan anak pada usia sekitar 2,5–3 tahun telah meningkat pada
program preschool.
Awal
mulanya memasukkan anak dalam program day-care
lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu yang karena harus bekerja sepanjang
hari maka mereka menitipkan anaknya. Seiring berjalan waktu kecenderungan ini
mengalami perubahan, mereka sudah ada yang mulai terpengaruh akan trend sehingga kurang melihat pada
kebutuhan semestinya dari anak. Tidak jarang anak-anak tersebut dimasukkan
program karena orang tua tidak mau repot mendidik atau mengajari beberapa
keterampilan kepada anak. Selain itu bisa saja orang tua berpikir semakin cepat
diikutkan program, anak akan semakin pintar/ hebat. Tentu ada berbagai faktor
yang harus diperhatikan sebagai bahan pertimbangan, salah satunya yaitu
pendapat para ahli sebelum mengikutkan anak dalam program day-care.
Kebutuhan Dasar Anak
Umumnya
orang tua di luar negeri mengikutkan anaknya ke program day-care sejak usia 4 bulan ke atas, karena tuntutan ibunya harus
mulai bekerja setelah selesai dari cuti melahirkan. Sementara itu, di Indonesia
lebih didominasi anak-anak berusia sekitar 1 tahun ke atas yang diikutkan
program day-care. Menurut Erikson,
seorang ahli psikologi perkembangan, kebutuhan dasar anak ketika baru lahir
sampai dengan kurang lebih usia 1 tahun adalah kebutuhan yang bersifat biologis
dan psikologis. Kebutuhan biologisnya yaitu makan, minum, pakaian, dan urusan
pencernaan. Kemudian untuk kebutuhan psikologisnya yaitu kebutuhan
diperhatikan, merasa dicintai, rasa aman, dan dilindungi. Oleh karenanya diperlukan
figur orang tua dan pola pengasuhan yang konstan serta stabil, sehingga bisa
membangun kepercayaan anak bahwa orang tuanya selalu siap menanggapi
kebutuhannya.
Apabila
dalam prosesnya ternyata terjadi hambatan yang menyebabkan hubungan antara
orang tua dan anak terganggu (terpisah), seperti orang tua yang sibuk, sakit, meninggal,
atau situasi lainnya, maka anak akan berpikir dirinya tidak lagi dicintai
karena pola pikirnya yang masih egosentris. Ironisnya anak yang kurang
mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara konstan di tahun pertama
kehidupannya, anak tersebut akan tumbuh dalam dirinya basic mistrust. Anak akan merasa kurang percaya diri karena
dihadapkan pada kenyataan berdasarkan persepsinya bahwa dirinya ditolak maupun
diabaikan. Dirinya juga akan tumbuh menjadi orang yang sulit mempercayai orang
lain disebabkan semasa kecilnya tidak menerima kehadiran orang tua yang
konstan, stabil dan predictable. Ketidakmampuan anak mempercayai baik diri sendiri maupun
orang lain dapat berpotensi menjadi masalah di
kemudian hari jika persoalan ini tidak diselesaikan sejak dini. Berikut beberapa tanda-tanda pada anak yang dalam
dirinya tidak tumbuh basic trust:
1.
Takut / tidak mau ditinggal
sendirian, harus selalu nempel (berada
di dekat) orang
tua.
2.
Lebih suka menyendiri dibanding
bermain bersama teman-teman yang lain.
3.
Kurang percaya diri (minder).
4.
Tidak berani keluar rumah.
5.
Takut terhadap orang asing,
jika didekati langsung menangis bahkan menarik diri.
6.
Bisa jadi tidak menunjukkan
ekspresi apa-apa waktu ditinggal orang tua karena sudah biasa ditinggal, atau
bahkan tidak ingin dipeluk atau didekati orang tuanya.
7.
Terlalu sering menangis (cengeng),
mudah ketakutan, dan mudah cemas.
Pada perkembangan usia selanjutnya, anak tersebut berpotensi
mengalami masalah dalam pelajaran / sekolah, entah karena kesulitan belajar,
hambatan intelektual, atau pun hambatan interaksi sosial dengan teman-temannya.
Oleh karena itu, sebelum orang tua mengikutkan anaknya dalam program day-care,
seharusnya memperhatikan dulu apakah
anaknya memperlihatkan beberapa tanda-tanda di atas. Apabila orang tua
menemukan kecenderungan anak yang demikian, ada baiknya mempertimbangkan lagi
niatnya untuk mengikutkan anaknya di program day-care. Sebab
dikhawatirkan bukannya anak menjadi cerdas dan pandai bergaul, justru
berpotensi membentuk anak jadi penakut dan memiliki masalah yang bertumpuk.
Pendapat
Para Ahli Tentang Program Day-Care
Kritikan terhadap program day-care
berdasar pada anak yang membutuhkan perhatian
dan penanganan stabil, kontinyu serta dapat terprediksikan. Kebutuhan anak akan
kasih sayang yang stabil dan intensif hanya didapatkan dari hubungan antara
anak dengan ibu / pengasuh utama, dan dialami di tahun pertama kehidupannya.
Fraiberg (1977) menyatakan bahwa di day-care, setiap anak mau tidak mau
harus menerima perhatian yang tidak penuh karena pengasuh / pekerjanya membagi
waktu dan perhatiannya juga ke anak-anak lainnya. Apalagi jika pengasuhnya
keluar dari pekerjaan dan tergantikan oleh pengasuh baru saat pertengahan
program. Bisa saja hal ini tidak diperhatikan oleh orang tua, padahal faktor
ini juga penting karena sejak usia dini anak sudah belajar membangun
kepercayaan terhadap seseorang sampai hubungannya stabil. Salah satu fakta
mengungkapkan bahwa orang tua yang sibuk bekerja kurang tertarik / enggan
tertarik memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi anaknya. Di samping itu
jika yang dihadapi merupakan situasi tidak pasti, selalu berubah dan unpredictable
maka akan sulit bagi anak belajar menumbuhkan rasa percaya dirinya. Tidak heran
lagi bila nantinya di kemudian hari, anak menerapkan pola pertemanan hit and
run / solitaire sebagai antisipasi bila dirinya dikecewakan dan
ditinggalkan sewaktu-waktu.
Menurut hasil penelitian Kagan, seorang
psikolog perkembangan yang telah menemukan bahwa anak-anak yang diikutkan di day-care,
meskipun sudah ditangani oleh orang-orang berkompeten secara intensif
dengan perbandingan 1 pengasuh menangani 3-4 anak, anak-anaknya memiliki
kapasitas intelektual emosional dan sosial yang tidak jauh berbeda dengan anak-anak
yang tidak mengikuti program day-care (diasuh semata-mata di lingkungan
rumah / keluarga). Justru anak yang dibesarkan hanya di lingkungan rumah pada
usia 29 bulan sudah terlihat mampu beradaptasi sosial lebih baik dibanding anak-anak
dalam binaan program day-care.
Laurence Steinberg dan Jay Belsky
melakukan penelitian yang menemukan bahwa bimbingan / pengalaman anak yang
didapat selama program day-care, tidak mendorong maupun menghambat
perkembangan intelektual anak. Namun ternyata terbukti mampu membantu anak-anak
dari golongan ekonomi lemah / lingkungan yang beresiko tinggi mengalami
penurunan IQ sebab penanganan yang kurang memadai. Selain itu keikutsertaan
anak di program day-care menunjukkan adanya peningkatan interaksi baik
dalam bentuk positif maupun negatif dengan temannya.
Belsky (1984) menemukan fakta bahwa
bayi (usia di bawah 1 tahun) yang menghabiskan 20 jam seminggunya di program day-care
selama 1 tahun pertama kehidupannya, beresiko tinggi terhadap ibunya mengalami
insecure attachment, peningkatan agresivitas terhadap sesama,
ketidaktaatan, penurunan sikap kooperatif terhadap orang dewasa dan
kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosialnya saat memasuki tahap preschool
dan sekolah dasar. Namun situasi tersebut tidak berlaku bagi anak berusia 1
tahun ke atas. Program day-care yang berkualitas memang memberikan
kontribusi positif dalam perkembangan anak.
Pemilihan day-care harus menjadi
pertimbangan penting menimbang kualitas dari pengasuhan dan fasilitas yang
tersedia. Para Ahli berpandangan jika mengikutkan anak di day-care
banyak mengeluarkan biaya, namun kurang seimbang dengan kualitasnya. Menemukan day-care
yang sesuai dengan kebutuhan anak juga tidak mudah karena setiap anak memiliki
problem berbeda pada masa dan menuntut penanganan yang spesifik. Selanjutnya
yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor kebersihan dan kesehatan lingkungan,
karena di day-care banyak berkumpul anak-anak yang bisa saja punya
penyakit tertentu dan mudah menular misalnya flu, diare, hepatitis, dsb. Pengasuh
/ pekerjanya pun kemungkinan besar tidak terbekali pengetahuan dan latihan yang
memadai perihal kebersihan, kesehatan, penyakit dan penanganannya. Kondisi ini
masih terpengaruh lagi dengan pola perilaku anak yang masih belum terkontrol
(tidak karuan / belum teratur).
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan peneliti masih berpendapat day-care yang berkualitas dapat dijadikan alternatif program pengasuhan anak. Pengaruh day-care tergantung dari kualitas day-care, lamanya waktu keikutsertaan, dan hubungan yang terjalin antara anak dengan orang tua di luar waktu day-care. Memperhatikan apakah sudah sesuai dengan kebutuhan yang sedang dihadapi anak, dan apakah benar-benar memang dibutuhkan, dalam arti bukan karena mengikuti trend semata. Kemudian faktor kebersihan dan keamanan juga semestinya menjadi pertimbangan. Keberadaan ahli gizi, psikolog, dan tim medis dalam day-care juga bisa menjadi nilai tambah yang bermanfaat memonitor perkembangan anak.
[AWA]